Kejadian di Negara Tetangga RI: KPR Naik, Warga "Masa Bodoh"
Jakarta, CNBC Indonesia - Kenaikan suku bunga sepertinya tak berpengaruh pada warga di negara tetangga RI, Singapura. Hal itu setidaknya diyakini para analis setempat. Beberapa faktor menjadi penyebab. Seperti pembeli yang memang kaya raya, permintaan sewa yang kuat dan banyaknya warga asing pindah ke Singapura. Menurut Kepala Penelitian Asia-Pasifik di Knight Frank, Christine Li, pasar real estate Singapura memang didukung "kesejahteraan". Ini, ujarnya, seperti pembeli di Shanghai dan Beijing China yang hanya membutuhkan sedikit pinjaman atau malah tanpa pinjaman sama sekali. "Ini berbeda dengan pasar seperti Australia dan Selandia Baru," ujarnya dimuat CNBC International, Kamis (27/10/2022). "Orang membeli rumah karena pertumbuhan pendapatan. Jadi ketika suku bunga mulai naik, Anda dapat melihat reaksinya ... jauh lebih cepat," tegasnya. Perlu diketahui, bank-bak di Singapura memang baru menaikkan suku bunganya. DBS, IOB, OCBC menaikkan KPR hingga 3,85% pada awal bulan ini. "Tetapi di pasar yang didukung wealthy seperti Singapura, suku bunga tidak menggerakkan jarum. Karena orang-orang ini bahkan tidak bergantung pada pinjaman untuk mendanai rumah-rumah ini," tegasnya lagi. "Suku bunga tidak akan menjadi faktor penentu harga turun ... Saya pikir Anda membutuhkan sesuatu yang jauh lebih kuat, terutama dari sisi makro, agar orang-orang menyadari bahwa memasuki pasar pada tingkat harga seperti ini mungkin tidak memberi mereka keuntungan yang mereka inginkan," jelasnya lagi. Hal sama juga dikatakan Wakil Presiden Senior Penelitian dan Analitik di OrangeTee and Tie. Ia mengatakan pembeli, terutama di kelompok kekayaan teratas di Singapura, memiliki cukup uang untuk mendanai pembelian rumah mereka dan dapat menggunakan kembali modal untuk membayar pinjaman mereka. "Investor asing dapat terus membeli properti di sini karena mereka menganggap tingkat hipotek kami lebih rendah daripada negara lain," katanya. "Dolar Singapura kami yang kuat dapat membantu menjaga nilai investasi mereka," tambahnya. Meski demikian, pendapat berbeda dikatakan Direktur Eksekutif Penelitian dan Konsultasi di Savills, Alan Cheong. Menurutnya tak berarti pasar yang mapan membuat kenaikan suku bunga diabaikan dan menurunkan risiko. "Ada faktor lain yang menyebabkan harga terus naik, yang tampaknya bertentangan dengan logika ekonomi," katanya. Merujuk Urban Redevelopment Authority of Singapore, harga properti residensial swasta masih dalam tren naik. Ini bahkan meningkat 3,4% pada kuartal III (Q3) 2022. Ini membuat pemerintah Singapura mengeluarkan sejumlah langkah-langkah kebijakan. Termasuk pembatasan pinjaman yang lebih ketat dan masa tunggu 15 bulan untuk pemilik rumah pribadi tertentu. Masa tunggu tersebut dapat mempengaruhi penjualan flat umum. Ini, diyakini pada gilirannya, dapat menyebabkan penurunan permintaan untuk kondominium di pinggiran kota.