Dihantam Isu Resesi, Dolar Australia Jeblok ke Rp 10.000!
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs Dolar Australia jeblok melawan rupiah awal pekan kemarin dan berlanjut pada perdagangan Selasa (12/7/2022) pagi. Dolar Australia kini kembali ke kisaran Rp 10.000/AU$. Melansir data Refinitiv, dolar Australia pagi ini turun 0,25% ke Rp 10.049/AU$ di pasar spot, sementara kemarin ambrol 1,9%.
Beberapa wilayah China yang kembali menerapkan lockdown membuat dolar Australia terpukul. China merupakan pasar ekspor utama Australia, sehingga kebijakan tersebut bisa berdampak pada penurunan permintaan. Beberapa kota di China melakukan pembatasan karena lonjakan kasus virus Corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Pembatasan dari penghentian bisnis hingga lockdown dengan tujuan untuk mengendalikan infeksi baru. Ditambah dengan pusat komersial Shanghai bersiap untuk melakukan pengujian massal lainnya setelah mendeteksi sub-varian BA.5 Omicron. China yang kembali melakukan lockdown membuat outlook perekonomian Australia semakin suram, dan risiko resesi semakin besar.
Australia menjadi salah satu negara yang diperkirakan akan mengalami resesi akibat tingginya inflasi, serta kebijakan bank sentralnya (Reserve Bank of Australia/RBA) yang agresif menaikkan suku bunga. "Banyak bank sentral saat ini mandatnya pada dasarnya berubah menjadi tunggal, yakni menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter merupakan aset yang sangat berharga yang tidak boleh hilang, sehingga bank sentral akan agresif menaikkan suku bunga," kata Rob Subbraman, kepala ekonom Nomura dalam acara Street Signs Asia CNBC International, Selasa (5/7/2022). Subbraman memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan zona euro, Inggris, Jepang, Australia, Kanada dan Korea Selatan juga akan mengalami resesi. "Kenaikan suku bunga yang agresif artinya kita melihat kebijakan front loading. Dalam beberapa bulan kami telah melihat risiko resesi, dan sekarang beberapa negara maju benar-benar jatuh ke jurang resesi," tambah Subbraman. RBA di bawah pimpinan Philip Lowe dalam pengumuman kebijakan moneter hari ini menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 1,35%. Dengan demikian, RBA sudah menaikkan suku bunga 3 bulan beruntun, dan berada di titik tertinggi sejak Mei 2019, atau sebelum pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19). Ketika suku bunga naik, maka dunia usaha akan menahan ekspansinya akibat suku bunga kredit yang naik lebih tinggi, begitu juga dengan masyarakat yang menunda konsumsi. Hal ini akan berdampak pada pelambatan ekonomi, hingga resesi.
Diana Mousina, ekonom senior di AMP Australia juga menyebut kenaikan suku bunga akan berdampak pada harga perumahan, belanja konsumen dan investasi perumahan yang bisa menekan tingkat keyakinan konsumen.